Spiga

Jangan iri


Kadang saya iri dengan kaka. Dibandingkan dengan dia, saya tidak ada apa-apanya. Kaka memiliki segalanya. Dia ganteng, kaya, dan terkenal. Semua hal yang diimpikan seorang pemuda dikantonginya. Tak terkecuali seorang istri yang cantik dan setia. Tetapi semakin saya membandingkan diri dengan kaka, makin jauh jurang itu. Kemudian saya sadar jarak itu tak akan bisa diperpendek. Mendekat sekalipun rasanya bakal susah untuk orang biasa seperti saya.

Lantas saya pikir, mengapa saya iri? Bukankah lebih baik saya mencontoh dan mengagumi segala kelebihannya?

Itu yang bisa saya lakukan. Apalagi sosok kaka yang memang pantas diteladani. Dalam umurnya yang masih 25 tahun, dia sudah mengemban tanggung jawab besar di klubnya AC MILAN. Bahkan di negaranya, kaka juga seorang simbol.

Itulah kelebihannya. Dia mampu menjadi penghibur sejati melalui liukan dan tendangannya yang terkenal akurat dilapangan hijau. Tak gampang melakukan itu semua di sebuah kompetisi yang dipenuhi segudang pemain berbakat. Nyatanya kaka dengan enteng melakukannya. Tentu dia pantas menjadi idola.

Untuk menggambarkannya kehebatannya di lapangan, komentar bos besar I Rossoneri Silvio Berlusconi dapat mewakilinya, “Saya tidak tau siapa pemain terbaik di Milan selama saya di sini. Tetapi saya belum pernah melihat pemain semuda kaka melakukan itu semua bagi kami,” kata mantan Perdana Menteri Italia itu.

Berlusconi benar. Kaka bak keajaiban yang dimiliki I Rossoneri. Usai diambil dari Sao Paulo pada 2003, dia langsung mengantar Milan meraih Scudetto ke-17. Sebuah gelar juara Seri-A yanhg terakhir bagi I Rossoneri sesudah musim 1998-99.

Prestasi ini sangat istimewa. Ketika itu kaka baru berumur 22 tahun. Namun dia sudah mampu menjadi elemen penting bagi klubnya untuk meraih sukses di musim debutnya bersama Milan. Hebatnya juga dia memaksa pemain sekaliber Rui Costa untuk duduk manis di bangku cadangan menjadi pelapisnya.

Sesudah itu peran kaka bagi klubnya semakin besar. Terlebih di awal musim 2006-07, Milan kehilangan Andriy Shevchenko. Tak ayal kepergiannya itu memberi konsekuensi besar baginya. Kaka harus mampu menggantikan peran Shevchenko sebagai simbool Milan, sekaligus bintang yang memberi kepercayaan diri bagi rekan-rekannya.

Tuntutan itu ternyata tak membuatnya gamang. Padahal dia bisa saja pergi ke Real Madrid yang gencar memburunya, jika ingin lari dari beban besar yang ditanggungkan kepadanya. Tetapi kaka berani mengembannya. Bahkan dia meminta tanggung jawab yang lebih dengan menyatakan siap menjadi kapten I Rossoneri pada suatu saat nanti.

Yang makin saya membuat kagum, kaka menggapai itu semua dengan kerja keras. Tak sperti pemain istimewa kebanyakan, dia bukanlah pemain yang melejit berkat karunia talenta dari tuhan. Kaka ternyata perlu bekerja keras dan berpeluh-peluh untuk merengkuh kebesarannya.

Perjuangan itu membuatnya menjadi pribadi yang kuat. Kaka tak takut terhadap tantangan karena tahu Tuhan selalu mendampinginya. Inilah yang membuatnya hidupnya berjalan mulus. Status sebagai pebola terkenal tak membuatnya lupa diri. Kaka mau berbagi kepadanya semasa dan menjalani kehidupan seperti orang biasa saja.

Ah, pemain ini memang istimewa. Bisa-bisa saya tambah iti kepadanya.


0 komentar: